Jumat, 18 April 2014

bugardan sehat

Pahami Bahaya Tayangan Iklan bagi Balita

NANA masih asyik dengan permainan bolanya. Namun tia-tiba badannya berputar dan kemudian menikmati tayangan iklan di televisi swasta tersebut sampai selesai. Begitu iklan berakhir, bocah berusia 2,5 tahun kembali menikmati mainan bolanya. Tidak sampai sepuluh menit bermain bola, perhatian Nana sudah kembali ke tayangan iklan televisi. Sementara, Rangga begitu senang diletakkan di tempat tidur sembari menonton televisi di samping kasur. Bocah yang baru 1 tahun itu tiba-tiba saja menangis, ketika kakaknya mengganti channel dan tayangan iklan itu berganti menjadi film.

Kebiasaan Nana dan Rangga, barangkali juga menjadi kebiasaan banyak balita masa kini. Anak-anak yang dibesarkan dan diasuh di tengah kesibukan orangtua entah karena berkarir ataupun mengurus rumahtangga. Fakta yang kemudian membuat orangtua atau pengasuh dengan santai ‘membiarkan balita’ menonton televisi asalkan tidak menangis. Yang kemudian sangat mengherankan, ketika keduanya – tentu juga banyak yang lain -- ternyata lebih tertarik  dengan tayangan iklan dibanding lainnya. Mengapa, bukankah  mereka juga belum mengerti sama sekali dengan apa yang ditonton tersebut? Mungkin memang bukan film atau tayangan lain yang penuh adegan kekerasan, namun apakah hal ini tidak ‘berbahaya’ bagi masa depan anak-anak?

Bukan hal mudah untuk menjelaskan problema ini,  ketika merasa hidup di era informasi dan era teknologi canggih. Orangtua saat ini tidak bisa menafikan perangkat teknologi dalam kehidupan keseharian, bahkan untuk ‘pengasuhan’ anak. Ibu yang sibuk berkarir, berorganisasi dan menyerahkan pengasuhan balita pada perawat/baby sitter mungkin tidak tahu bila pengasuh balitanya hanya santai-santai dan membiarkan  anak asuhnya diam menonton televisi, tanpa dia peduli bagaimana dampaknya kelak. Atau bahkan ibu yang kurang memahami juga diam saja bahkan sengaja meletakkan anak balitanya di depan televisi, asal tidak rewel.

Televisi memang hanya sebuah ‘kotak kaca’ yang cukup ajaib. Di negeri ini sejak 1997 bukan hanya ada satu stasiun saja yang bisa menayangkan tayangan gambar dari pelbagai belahan dunia. Namun secara nasional sedikitnya ada delapan stasiun televisi pemerintah dan swasta nasional. Di pelbagai daerah, tentu ada televisi lokal. Seperti di Yogya, ada empat televisi pemerintah dan swasta lokal. Artinya, kepungan tayangan ini sungguh luar biasa, jika kita tidak bijak dan menyaringnya. Dan bukan hanya berita, film saja yang disuguhkan namun juga tayangan iklan serta pariwara yang sangat menarik perhatian.

Alasan ‘selama tidak rewel’ inilah yang seringkali membuat orangtua ‘terjebak’ dan membiarkan anak balitanya ‘diasuh’ televisi. Padahal usia balita terutama tiga tahun pertama kehidupan anak ungkap dr Titik Kuntari MPH adalah masa-masa orangtua ‘mencetak’  bakal seperti apa anak-anak kita.
“Jika cetakan baik maka hasilnya ke depan Insya Allah juga baik. Karena itulah masa golden age tersebut merupakan masa yang sangat menentukan hari depan anak. Sehingga baik dari fisik, psikis maupun spiritual hendaknya kita isi dengan hal yang baik,” ungkap Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia. Padahal tanpa tersadari, ‘jalan pintas’ mengasuh anak di depan televisi  ini akan membawa dampak bahkan bisa membahayakan kesehatan fisik sekaligus psikhis anak.

“Kalau kemudian balita juga lebih menikmati televisi saat iklan ditayangkan, tentu karena iklan memang dibuat dengan konsep tujuan seperti itu. Iklan sengaja dibuat dengan suara, warna dan tampilan yang menarik perhatian orang, mudah diingat. apalagi anak-anak/ bayi memang sangat tertarik dengan suara dan gambar-gambar yang menarik. Sehingga otomatis anak akan lebih terpukau saat iklan ditayangkan,” ungkap Titik.
                             
                                                    ***

APA yang diungkap Titik selaras dengan yang disampaikan pakar komunikasi dari Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Fajar Junaedi. Di dalam teori, katanya ketika ditemui terpisah, iklan adalah bentuk komunikasi yang berbeda dengan bentuk komunikasi lain. Karena iklan diorientasikan sebagai bentuk komunikasi yang pesannya bersifat persuasif.

Orientasi persuasif ini disebut Junaedi beriringan dengan premis bahwa iklan televisi memiliki durasi yang pendek, rata-rata 30 detik. “Sehingga iklan dalam waktu yang pendek tersebut harus mampersuasi audiens. Ini yang terjadi ketika anak-anak kemudian dengan mudah menirukan kata-kata  atau lagu jingle dalam  iklan. Peniruan ini bisa mengindikasikan iklan sukses mempersuasi audiens. Peniruan ini semakin mudah karena  iklan diputar berulang-ulang dengan masing-masing durasi yang pendek,” ungkap Junaedi. Bahaya yang muncul, lanjutnya, adalah bahwa iklan itu pada prinsipnya mendorong audiens pada  kebutuhan 'semu' yang dimunculkan iklan.

Ketika di usia emas anak sudah merekam tajam dan akrab dengan tayangan iklan maka sebenarnya keakraban tersebut  mendorong anak untuk semakin dekat dengan budaya konsumtif. Apalagi bila sejak balita anak bahkan ‘terbiarkan diasuh’ televisi. “Kalau sejak balita sudah lebih biasa menikmati tayangan iklan, maka akan semakin besar potensi komsumtifnya kelak. Mengingat usia ini adalah usia emas, dan masa dimana anak mulai belajar dari lingkungannya. Anak dalam bahasa psikologi adalah tabula rasa yang karakternya terbentuk dari lingkungan,” lanjut Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Fisipol UMY tersebut. Dan ketika ia kelak menjadi anak yang konsumtif, maka sudah berkurang bahkan hilanglah kreativitasnya. Sehingga bahaya tayangan iklan tidak kalah mengerikan dengan adegan kekerasan.

Benarkah? Junaedi memberikan contoh andai di rumah itu hanya ada satu televisi, seperti di masa silam. Realita inilah yang membuat anak dulu menjadi lebih kreatif membuat mainan dari benda-benda yang ada di sekitarnya. Entah kertas, entah kayu, atau dari tanaman seperti pelepah pisang, janur dan lain sebagainya. Namun kini diakui Junaedi, anak-anak lebih meminta dibelikan mainan dan bukan berkreasi. “Contohnya gasing. Dulu anak-anak kreatif membuat gasing dari kayu/bambu. Sekarang karena televisi menayangkan iklan gasingdan film kartun  Beyblade, anak tidak lagi berkreasi  buat gasing sendiri. Mereka pilih merengek agar dibelikan gasing,” jelas Fajar Junaedi. Tanpa sadar, ungkap Junaedi, orangtua sesungguhnya sedang melakukan ‘investasi’ kehidupan hedonis dan  sikap konsumerisme bagi masa depan anak-anaknya.

Realita persuasi iklan ini memang kelebihan iklan agar penonton tidak pindah channel. “Tetapi sesungguhnya, repetisi atau pengulangan yang dilakukan dan itu berkali-kali, sangat berbahaya. Otak anak dalam usia emas ini sudah merekam dan akan membawanya sampai besar kelak,” lanjut Junaedi. Apalagi, naskah iklan diorientasikan agar pesan iklan selalu teringat di memory audiens termasuk anak, yang bisa jadi  sebenarnya bukan target iklan.
                                                                            ***
TIDAK perlu kaget bila kelak anak-anak Indonesia masa depan adalah anak yang konsumtif dan tragisnya, tidak kreatif. Pola asuh televisi dan daya pikat tayangan iklan yang luar biasa, memang bisa mengubah cara pandang yang sudah lekat terekam di benak bocah-bocah masa depan. Iklan ice cream, sosis, makanan cepat saji adalah sedikit di antara makanan yang sudah terekam di benak, sejak kanak-kanak. Bocah berusia tiga tahun pun akan dengan sangat cepat dan tangkas menyebut nama merk tersebut ketika memerlukan. Mereka juga cukup fanatik merk dan tanpa peduli akan segera merengek bila tidak dipenuhi keingiannya. 

Maka jangan biarkan televisi ‘mengasuh’ anak balita kita.  Bahkan kebiasaan ini  harus dengan sadar ditinggalkan, jika kelak tidak ingin lebih repot menghadapi anak-anak dengan perilaku konsumtif atau sikap konsumerisme yang sangat berbahaya. Atau juga, jika kita ingin memiliki anak-anak yang senang bermain bersama teman dengan gembira, berkreasi dengan pelbagai jenis mainan dan pelbagai jenis alat bermain. Ini akan mengasah sikap toleransi, kepedulian sosial, kegotongroyongan, kebersamaan dan lainnya. 

“Selain membuat anak konsumtif, individualis, lama di depan televisi juga menyimpan banyak ketidakbaikan bagi fisik,” ungkap Titik. Paling tidak, sebut Titik anak-anak yang lebih suka menonton televisi lama daripada bermain dengan teman di luar,

Pertama cenderung mengalami obesitas (kegemukan). Karena saat menonton, tanpa disadari kita akan memiliki kesempatan mengonsumsi makanan (ngemil) lebih banyak dibandingkan dengan saat melakukan aktivitas lain. Ngemil makanan seperti yang ditayangkan dalam iklan, tanpa memahami gizi ditambah dengan kurang gerak, maka tidak ada pembakaran kalori. Yang kedua meningkatnya risiko dislipidemia (gangguan keseimbangan lipid).

Ketiga, kegemukan dan dislipidemia ini dalam jangka panjang akan meningkatkan risiko penyakit/gangguan vaskuler. Beberapa gangguan vaskuler tersebut antara lain: penyakit jantung vaskuler, stroke, hipertensi,” tandasnya.

Yang keempat sebut dr Titik, anak cenderung mempertahankan diri pada posisi tertentu ketika menonton televisi, seperti tiduran, duduk, telungkup. Posisi ini membuat anak  tubuh kurang aktivitas ditambah obesitas, akan meningkatkan risiko diabetes mellitus (DM). “Bagi anak, jika di usia emas sudah dibiasakan menonton televisi, kebiasaan itu akan sulit dihilangkan. Terlalu lama, realita ini akan mengganggu konsentrasi dan membuat anak sulit memusatkan perhatian saat mengikuti pelajaran atau belajar mandiri. Bisa jadi, karena memorinya sudah tertarik ke televisi. Akibatnya, bisa terjadi gangguan belajar. Terakhir,  terlalu lama memfokuskan penglihatan pada satu objek juga membuat mata cepat lelah karena daya akomodasi lensa mata menjadi kurang terlatih (terlalu tegang),” jelasnya.

Anak tidak pernah minta dilahirkan. Ia adalah amanah, titipan Tuhan. Membiarkan anak dalam ‘pengasuhan’ televisi memang membuat rentan masa depannya. Meskipun ia memilih tayangan iklan, dan bukan tayangan film atgau sinetron yang sarat kekerasan. Karena  dilihat dari perspektif teoritis menurut Fajar Junaedi, relasi televisi dan anak dalam encoding-decoding adalah hegemonik, dimana anak belum mampu menegosiasikan isi televisi.

Jadi ada ‘bahaya besar’ mengancam. Akankah kita membiarkan anak-anak Indonesia masa depan seperti itu?
(Fadmi Sustiwi)
 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar